BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu di mana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90% penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu, saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia. Siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja, bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Namun, di balik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah memberikan banyak pengaruh negatif dalam kehidupan manusia baik anak-anak maupun orang dewasa. Kita harus berhati-hati sebab televisi selain bisa menjadi teman yang baik, bisa juga menjadi musuh yang menghanyutkan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan lebih dari setengah anak-anak di AS mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah mempunyai televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswi sebuah sekolah yang bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini, namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia pada umumnya. Dalam tayangan televisi saat ini terdapat banyak gaya kehidupan setan, seperti kekerasan yang membuat bulu kuduk merinding, vulgaritas, kejahatan, kebencian, seks bebas, penipuan, tatanan rambut yang radikal, dan lain-lain. Orang yang semakin sering menonton tayangan-tayangan seperti itu, pada akhirnya akan menerima hal itu sebagai sesuatu perbuatan yang normal. Dalam hal ini televisi telah menjadi propaganda terpenting yang dipakai setan saat ini terhadap manusia, baik dewasa maupun anak-anak. Tidak bisa disangkal bahwa dewasa ini televisi adalah salah satu guru elektronik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Apa yang harus dilakukan keluarga untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh tontonan televisi?
1.2 Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui tentang bahyaa tontonan kekerasan khususnya bagi anak.
- Untuk mengetahui peranan orang tua atau orang tua adalah contoh anak
- Untuk mengetahui sisi positif dan sisi negatif dari sebuah televisi
1.3 Pembatasan Masalah
Banyak sekali masalah-masalah yang timbul dari sebuah televisi, namun pada kesempatan ini penulis banyak membatasi masalah tersebut pada:
- Bahaya tontonan kekerasan bagi anak
- Orang tua contoh model anak, dan
- Sisi positif dan negatif yang diberikan televisi
BAB II
DAMPAK SIARAN TELEVISI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK
2.1 Bahaya Tontonan Kekerasan Bagi Anak
Tontonan kekerasan yang disajikan pada sebuah televisi akan berpengaruh sekali terhadap perilaku anak, karena secara tidak langsung anak itu dapat meniru tayangan kekerasan di televisi, di kemudian hari, dan biasanya diperagakan pada teman-temannya. Karena fase anak-anak memang fase meniru, dan tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Karena selain menghibur, yang terutama bikin anak-anak kecanduan ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan, dan selain itu permainan game juga intern karena di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan, dan jika (dilakukan) bertahun-tahun tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban. Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai dari tembakan, darah, gebuk-gebukan, perlu juga disensor.
Menurut Ron Solby dari Universitas secara terrinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi. Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV. Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain.
Menurut Aletha Huston Ph.D dari University of Kansas, “Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV.”
Tapi, tidak semua pihak setuju dengan pendapat Aletha, bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak. Namun ada syarat yang dipenuhi. “Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli. Kalau ketiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton.”
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figure pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Modeline Levine, Ph.D. Psikolog di Marin Country, California, “Pada umur 9 tahun, anak bari bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi.”
2.2 Orang Tua Contoh Model Anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya dikala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya anda bisa melakukan kegiatan lain, kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak acara beraktifitas selain menonton TV. Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan, dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu, video kaset bisa berguna, rekam acara yang anda sukai, lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya manyaksikan apa yang ada di rekaman itu. Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara, kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan-adegan pacaran, rayuan, yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak, usia anak dan kedewasaan, mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak tiba-tiba nyelonong adegan “Saru”.
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
Dua jam sudah cukup, kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jade Murphy dan Karen Tucker – Produser acara TV anak-anak dan Penulis – sebaiknya tidak lebih dari 2 jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dari pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor.
“Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet demi kebaikan anak-anak.” Ujar Fawjia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan: Produser, Pengelola TV, Sutradara, Pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak, kuncinya mulai dari lingkungan keluarga.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu di mana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90% penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu, saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia. Siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja, bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Namun, di balik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah memberikan banyak pengaruh negatif dalam kehidupan manusia baik anak-anak maupun orang dewasa. Kita harus berhati-hati sebab televisi selain bisa menjadi teman yang baik, bisa juga menjadi musuh yang menghanyutkan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan lebih dari setengah anak-anak di AS mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah mempunyai televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswi sebuah sekolah yang bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini, namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia pada umumnya. Dalam tayangan televisi saat ini terdapat banyak gaya kehidupan setan, seperti kekerasan yang membuat bulu kuduk merinding, vulgaritas, kejahatan, kebencian, seks bebas, penipuan, tatanan rambut yang radikal, dan lain-lain. Orang yang semakin sering menonton tayangan-tayangan seperti itu, pada akhirnya akan menerima hal itu sebagai sesuatu perbuatan yang normal. Dalam hal ini televisi telah menjadi propaganda terpenting yang dipakai setan saat ini terhadap manusia, baik dewasa maupun anak-anak. Tidak bisa disangkal bahwa dewasa ini televisi adalah salah satu guru elektronik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Apa yang harus dilakukan keluarga untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh tontonan televisi?
1.2 Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui tentang bahyaa tontonan kekerasan khususnya bagi anak.
- Untuk mengetahui peranan orang tua atau orang tua adalah contoh anak
- Untuk mengetahui sisi positif dan sisi negatif dari sebuah televisi
1.3 Pembatasan Masalah
Banyak sekali masalah-masalah yang timbul dari sebuah televisi, namun pada kesempatan ini penulis banyak membatasi masalah tersebut pada:
- Bahaya tontonan kekerasan bagi anak
- Orang tua contoh model anak, dan
- Sisi positif dan negatif yang diberikan televisi
BAB II
DAMPAK SIARAN TELEVISI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK
2.1 Bahaya Tontonan Kekerasan Bagi Anak
Tontonan kekerasan yang disajikan pada sebuah televisi akan berpengaruh sekali terhadap perilaku anak, karena secara tidak langsung anak itu dapat meniru tayangan kekerasan di televisi, di kemudian hari, dan biasanya diperagakan pada teman-temannya. Karena fase anak-anak memang fase meniru, dan tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Karena selain menghibur, yang terutama bikin anak-anak kecanduan ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan, dan selain itu permainan game juga intern karena di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan, dan jika (dilakukan) bertahun-tahun tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban. Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai dari tembakan, darah, gebuk-gebukan, perlu juga disensor.
Menurut Ron Solby dari Universitas secara terrinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi. Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV. Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain.
Menurut Aletha Huston Ph.D dari University of Kansas, “Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV.”
Tapi, tidak semua pihak setuju dengan pendapat Aletha, bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak. Namun ada syarat yang dipenuhi. “Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli. Kalau ketiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton.”
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figure pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Modeline Levine, Ph.D. Psikolog di Marin Country, California, “Pada umur 9 tahun, anak bari bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi.”
2.2 Orang Tua Contoh Model Anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya dikala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya anda bisa melakukan kegiatan lain, kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak acara beraktifitas selain menonton TV. Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan, dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya. Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu, video kaset bisa berguna, rekam acara yang anda sukai, lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya manyaksikan apa yang ada di rekaman itu. Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara, kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan-adegan pacaran, rayuan, yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak, usia anak dan kedewasaan, mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak tiba-tiba nyelonong adegan “Saru”.
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
Dua jam sudah cukup, kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jade Murphy dan Karen Tucker – Produser acara TV anak-anak dan Penulis – sebaiknya tidak lebih dari 2 jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dari pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor.
“Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet demi kebaikan anak-anak.” Ujar Fawjia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan: Produser, Pengelola TV, Sutradara, Pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak, kuncinya mulai dari lingkungan keluarga.
Posting Komentar
bagi yang punya ide, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan Blog ini, harap kirimkan segera